Kurang Lebih sudah 30 puluh tahun desaku tidak ada acara amaerti desa atau sujud syukur atas rezki yang Gusti Berikan Kepada Masyarakat Baran Gunung RW VII.
Tanggal 22 Juni 20011 Acara Amaerti Desaku Terlaksana Kembali Desaku Yang Terletak Sekitar 1 Km Dari Kota Ambarawa, Amerti desa merupakan sebuah acara kirab budaya tahunan yakni acara bersih – bersih desa dalam arti baik fisik maupun non fisik. Hajatan ini berlangsung Dengan Lancar yang di awali dengan Pagi Syukuran Atau Slametan Semua Masyarakat Baran Gunung RW VII, Dilanjut dengan Grebek Desa Atau Arak-arakan atau pawai keliling desa dengan berbagai macam kesenian seperti gamelan, jathilan Ngudi Mulyo, Rebana Nurussalaf, Marching Band MI Baran, Arak Tupeng, Serta Berpakain pak tani, dan prajuritan, berkuda, Demikian juga para peserta pawai, pada pake beskap, blangkon dan jarikan, lengkap dengan keris, tombak dan perisainya. Pokoknya pakaian tradisional Jawa. Semua berpawai mengarak berbagai makanan sesajen.
Semoga dengan acara ini tali persaudaraan kita semua tetap terjalin dengan apa yang kita harapkan dan Desa Kita menjadi SERASI (Sehat, Rapi, Aman, Sejahtera Indah) AAMIIN . . .
Sejauh yang saya tahu merti kata dasarnya adalah preti, yang berasal dari kata pitre. Ada istilah Jawa kuno pitrekarya yang artinya memberi sesajen kepada para arwah leluhur. Jadi acara merti desa ini ada kaitannya dengan acara simbolis memberikan sesajen dalam bentuk hasil bumi untuk arwah para leluhur atau bangsa lelembut agar mereka mau memelihara keharmonisan dunianya. Kalo ditinjau dari sisi kosmologis Jawa yang penuh pasemon, pemberian sesajen ini bukanlah merupakan bentuk ketakutan kita, manusia, diganggu oleh para danyang, makhluk halus dan sebangsanya. Bukan pula bentuk inferioritas dengan menganggap bangsa lelembut lebih powerful & perlu disembah agar mau melindungi kita. Ini merupakan upaya mewujudkan hubungan horizontal yang harmonis antara bangsa manusia dan bangsa lelembut sebagai tetangga di alam ini. Bagi orang jawa, mereka ( bangsa lelembut ) itu ada & nyata, hanya beda wadag. Makanya perlu diberi ruang agar mereka juga mau menjaga & memelihara dunianya.Kita dah kasih contoh dengan bersih - bersih, tentunya mereka juga mau melakukannya. Dunia mereka & dunia kita memang seharusnya menjadi sebuah “ peaceful coexistence “ untuk bersama – sama mewujudkan mamayu hayuning bawana. Jadi intinya, kita juga perlu bersosialisasi, guyub & rukun dengan tetangga dari “ dunia lain” agar tidak saling mengganggu & terganggu sehingga menyebabkan konflik hubungan.
Saya terkesan dengan antusiasme dan spontanitas para warga desa dalam rangka menyukseskan acara ini. Semua komponen warga tak memandang gender ( laki dan perempuan ), umur ( dari mbah – mbah sampai anak TK ), semua ‘nyemplung’ dalam acara ini
Dan inilah yang merupakan poin terpenting. Bahwa para warga Baran Gunung RW VII masih mampu mempertahankan identitas “ Ndeso”nya dan Katroknya (Kat om tukul) dengan gotong royong, saling peduli dan bahu membahu, gugur gunung mrantasi gawean tahunan ini ditengah kehidupan kota Ambarawa yang semakin individualistis. . .
Oke Cukup Sekian,
Wasalamu'alaikum Wr. Wb
Salam Guyup Rukun Wargo Baran Gunung RW VII