Senin, 14 Desember 2009

DICINTAI atau DIMANFAATKAN?


Candu Cinta Membawa Derita

Cara kita memandang cinta antarlawan jenis ternyata masih sering "dininabobokan" oleh persepsi yang belum tentu benar. Kenapa ketika cinta ditolak, orang bisa bunuh diri? Ayo bangun, lihat dan evaluasi apakah kita sudah mencintai seseorang secara tepat dan apakah hubungan cinta yang kita bina selama ini sehat?


Putu Suardika (17), seorang pelajar SMA, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri gara-gara cintanya ditolak (Bali Post, 14 Desember 2004). Di tempat dan waktu yang lain, Fachrul (19) menenggak apotas karena keinginan kembali kepada mantan pacarnya ditolak mentah-mentah (Suara Merdeka, 1 September 2006). Peristiwa lainnya, Ainul Yaqin, mahasiswa semester 7 Fakultas Teknik Sipil dan Pemukiman, Jurusan Geodesi ITS, gantung diri di kampusnya setelah cintanya ditolak (Blog Afif, 21 September 2006).


Tiga kisah tragis itu tentu hanya sebagian kecil kisah mengenaskan seputar cinta antardua anak manusia berlainan jenis. Betapa panah asmara yang terlepas dan tidak mengenai sasaran bisa berubah bak bumerang tanpa si pelempar bisa menangkapnya secara benar. Kasus percintaan yang gagal dan berakhir dengan kematian tidak melulu milik Indonesia. Sejumlah kasus di dunia menunjukkan hal itu.

Dalam situasi tertentu, "Cinta itu bisa berubah menjadi virus yang mematikan," kata Frank Tallis, ahli kejiwaan dari Inggris. Sementara Prof. Alex Garner, salah seorang anggota The British Psychological Society, menyatakan, orang yang patah hati terperosok dalam keadaan putus asa dan tidak memiliki harapan. Umumnya, mereka merasa kecewa, pesimis, rendah diri, minder, depresi, sulit tidur, terus-menerus menangis karena sedih. Ada pula yang berulang-ulang memeriksa pesan pendek di ponselnya atau sibuk mengecek surat elektroniknya.

Jangan cinta membelenggu

Atas kisah-kasih gagal itu, psikolog Dra. Ieda Pernomo Sigit menilai terkadang betapa konyolnya orang memaknai cinta. Menurut dia, selama ini telah terjadi salah persepsi di tengah masyarakat tentang cinta. Contoh persepsi yang salah itu antara lain, "Cinta itu memiliki dan harus mau berkorban". Ketika cinta diyakini harus memiliki, maka seseorang tidak rela hubungan cintanya disudahi. Ia pun tak rela melihat si mantan kini bersama orang lain.

Ieda mengingatkan, persepsi cinta yang salah akan mengubah cinta menjadi candu. Ini yang harus diwaspadai, sebab candu bisa melenakan si pengguna.

Candu pertama yang patut diwaspadai ialah perilaku obsesif. Ciri orang berkepribadian obsesif, ia tidak pernah nyaman dengan dirinya sendiri. Sekali harapannya tak terwujud, ia akan tenggelam dalam perasaan gagal dan tak berharga.

Pikiran seorang obsesif selalu dipenuhi munculnya perasaan bahwa sang kekasih akan meninggalkannya. Di matanya sang pasangan adalah orang yang amat sempurna, sehingga harus "dijaga" dengan baik agar tidak pindah ke lain hati. Inilah cermin rasa tidak percaya diri dan menganggap dirinya tidak cukup baik untuk mendampinginya. Begitulah, saat "anugerah cinta" singgah di hatinya, ia rela melakukan apa saja demi mempertahankan hubungan itu.
Celakanya, pada banyak kasus orang obsesif yang kasmaran kerap dimanfaatkan pasangannya.

Candu kedua yaitu cinta yang mengarah ke posesif. Pada kondisi ini, seorang pasangan menginginkan pasangannya berlaku seperti yang dimauinya. Seperti si obsesif, si posesif juga tidak mau berpisah dengan pasangannya sehingga akhirnya ia menyiksa diri.

Mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi? "Ada kekosongan diri pada si pemuja cinta ini," tutur Ieda. Harapannya, kekosongan itu bisa ditutup oleh pasangannya. Terjadilah ketergantungan diri. Sayangnya, mereka tidak sadar memelihara kebodohan yang berkepanjangan. Ieda menyebut cinta seperti itu adalah cinta yang tidak sehat.

Tak sedikit orang yang masih berkubang dalam cinta seperti itu. Mereka berpikir cinta, padahal bukan. Ungkapan-ungkapan seperti "Saya melakukannya karena saya cinta kepada dia" atau "Dia memperlakukan saya seperti ini karena dia mencintai saya" hanyalah ilusi perasaan. "Saya menyebutnya terbelenggu karena sebetulnya dia mungkin mencintai, tapi yang dicintai ini belum tentu mencintai."

Rasa dan rasio

Cinta pada dasarnya memberi. "Karena saya mencintai seseorang, maka saya ingin memberikan yang terbaik buat dia, ingin membahagiakan dia, bisa membuat hidupnya menjadi indah. Artinya, saling mencintai bisa terjadi bila kedua belah pihak saling membahagiakan, saling memberi, memperhatikan, dan menyayangi. Tapi bila kenyataannya hanya salah satu pihak yang memberi dan berkorban, orang itu terbelenggu oleh cintanya sendiri. Karena yang terjadi sesungguhnya, cintanya tidak dibalas sebagaimana mestinya oleh pasangannya. Itulah yang saya maksud dengan dimanfaatkan. Tepatnya memanfaatkan rasa cinta pasangannya untuk kepentingannya sendiri. Ini juga berlaku untuk orang yang sudah menikah. Karena kadang pengorbanan istri tak pada tempatnya."

Ieda menyadari, penilaian tentang hal-hal di atas bisa bikin merah kuping yang mendengarkan. "Pasti enggak enak ya didengarnya, orang mencintai kok dibilang dimanfaatkan. Tapi itulah faktanya. Saya menggunakan istilah itu dengan maksud agar orang terjaga untuk melihat apakah saya ini dicintai atau dimanfaatkan. Kesadaran seperti ini harus dibangun. Karena atas nama sosial budaya dan segala macam opini, orang terperangkap pada pengertian yang salah tentang cinta, sehingga akhirnya mereka masuk pada penyiksaan yang ia ciptakan sendiri. Misalnya, dia tidak mengerti apa artinya pengorbanan. Justru dia berkorban untuk hal yang tidak perlu," tegas Wakil Ketua Umum Himpunan Psikolog Indonesia ini.

Dalam beberapa kasus, perempuan meyakini bahwa dengan berkorban, maka cintanya akan dibalas oleh orang yang saat ini belum mencintai dirinya. Analoginya, batu saja kalau ditetesi air terus-menerus bisa bolong. Opini macam ini kadang menjerumuskan. "Cinta bukan batu. Cinta enggak bisa dipaksa. Selama ini kita salah menempatkan analoginya."

Bagi yang sedang dilanda asmara, Ieda berharap untuk tidak terseret arus opini yang dibangun masyarakat. Seperti bagaimana cara mencintai laki-laki. Ieda mengingatkan bahwa orang per orang sangat individual. "Ukurlah sendiri dengan menggunakan ukuran khusus orang yang bersangkutan. Karena kalau tidak, perempuan menjadi korban terus."

Lalu bagaimana cara mengetahui apakah kita dimanfaatkan atau tidak? "Cinta itu menggunakan rasa dan rasio. Tanya jujur dalam hati, hubungan ini wajar atau tidak. Evaluasi juga, apa saja yang terjadi dalam hubungan selama ini. Apakah betul cinta? Kalau ternyata lebih banyak berkorban dan tidak menerima yang seharusnya, kita sampai pada kesimpulan bahwa kita telah dimanfaatkan pasangan. Ukuran mencintai 'kan timbal-balik. Saling memberi. Kalau seorang wanita atau istri berkorban terus- menerus, saya menilai ia dimanfaatkan," tegas psikolog yang berpraktik di kawasan Galur, Jakarta Pusat ini.

Buatlah neraca cinta

Hasil evaluasi tadi bisa kita lontarkan kepada pasangan. Cuma, lihat dulu tipe pasangan kita. Kalau modelnya orang yang terbuka, kita bisa langsung melontarkan masalah ini dengan santai. Misalnya, mulai dengan definisi cinta yang menyiratkan ada keinginan untuk membahagiakan, meringankan beban, menyenangkan, memberi. "Lo, kok, saya enggak pernah terima nih, malah ngasih terus. Enggak take and give dong hubungan ini."

Bisa jadi pasangan kita akan terhenyak sejenak. Biarkan ia mengecek ke dalam dirinya sendiri, atau bisa pula bertanya pada orang lain. Beri waktu pasangan untuk mengevaluasi. Nanti akan terjadi perubahan. "Mungkin pasangan atau suami tidak menyadari bahwa selama ini ia belum sepenuhnya memberi. Nah, sekarang ia menyadari bahwa ia lebih banyak disenengin daripada nyenengin pasangan. (Dengan kesadaran itu) maka hubungan bisa menjadi lebih baik."
Hasil evaluasi hubungan itu bisa juga menyadarkan pasangan lainnya, bisa jadi dirinyalah yang egois selama ini. Terlalu banyak menerima atau menuntut, tapi memberi sedikit pada pasangannya. Dengan membuat "neraca cinta" seperti itu, masing-masing pihak bisa saling melakukan introspeksi diri sehingga hubungan cinta menjadi lebih sehat.

Cinta memang bisa membuat seseorang menjadi kuat, memaafkan, dan tidak membenci. Tetapi ingat, rasio juga dipakai. Harus ada ukurannya, misalnya tepatkah memaafkan kesalahan. Kalau bolak-balik berbuat kesalahan yang sama, itu sih sama saja penyiksaan. Ada pula cara lain. Tanya pada diri sendiri, sebenarnya adakah rasa berat hati saat melakukan pengorbanan itu untuk pasangan. Idealnya, suatu hubungan asmara tidak boleh berat sebelah dan mendatangkan rasa nyaman pada kedua belah pihak. "Walaupun urusan cinta sangat melibatkan emosi, tetap kita tak boleh mengabaikan logika," tegas Ieda.

Karena itu, telusuri cinta Anda selama ini. Dicintai atau dimanfaatkan? Jangan sampai ada Putu, Fachrul, dan Ainul Yaqin lainnya.

DICINTAI atau DIMANFAATKAN?

Candu Cinta Membawa Derita

Cara kita memandang cinta antarlawan jenis ternyata masih sering "dininabobokan" oleh persepsi yang belum tentu benar. Kenapa ketika cinta ditolak, orang bisa bunuh diri? Ayo bangun, lihat dan evaluasi apakah kita sudah mencintai seseorang secara tepat dan apakah hubungan cinta yang kita bina selama ini sehat?


Putu Suardika (17), seorang pelajar SMA, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri gara-gara cintanya ditolak (Bali Post, 14 Desember 2004). Di tempat dan waktu yang lain, Fachrul (19) menenggak apotas karena keinginan kembali kepada mantan pacarnya ditolak mentah-mentah (Suara Merdeka, 1 September 2006). Peristiwa lainnya, Ainul Yaqin, mahasiswa semester 7 Fakultas Teknik Sipil dan Pemukiman, Jurusan Geodesi ITS, gantung diri di kampusnya setelah cintanya ditolak (Blog Afif, 21 September 2006).


Tiga kisah tragis itu tentu hanya sebagian kecil kisah mengenaskan seputar cinta antardua anak manusia berlainan jenis. Betapa panah asmara yang terlepas dan tidak mengenai sasaran bisa berubah bak bumerang tanpa si pelempar bisa menangkapnya secara benar. Kasus percintaan yang gagal dan berakhir dengan kematian tidak melulu milik Indonesia. Sejumlah kasus di dunia menunjukkan hal itu.

Dalam situasi tertentu, "Cinta itu bisa berubah menjadi virus yang mematikan," kata Frank Tallis, ahli kejiwaan dari Inggris. Sementara Prof. Alex Garner, salah seorang anggota The British Psychological Society, menyatakan, orang yang patah hati terperosok dalam keadaan putus asa dan tidak memiliki harapan. Umumnya, mereka merasa kecewa, pesimis, rendah diri, minder, depresi, sulit tidur, terus-menerus menangis karena sedih. Ada pula yang berulang-ulang memeriksa pesan pendek di ponselnya atau sibuk mengecek surat elektroniknya.

Jangan cinta membelenggu

Atas kisah-kasih gagal itu, psikolog Dra. Ieda Pernomo Sigit menilai terkadang betapa konyolnya orang memaknai cinta. Menurut dia, selama ini telah terjadi salah persepsi di tengah masyarakat tentang cinta. Contoh persepsi yang salah itu antara lain, "Cinta itu memiliki dan harus mau berkorban". Ketika cinta diyakini harus memiliki, maka seseorang tidak rela hubungan cintanya disudahi. Ia pun tak rela melihat si mantan kini bersama orang lain.

Ieda mengingatkan, persepsi cinta yang salah akan mengubah cinta menjadi candu. Ini yang harus diwaspadai, sebab candu bisa melenakan si pengguna.

Candu pertama yang patut diwaspadai ialah perilaku obsesif. Ciri orang berkepribadian obsesif, ia tidak pernah nyaman dengan dirinya sendiri. Sekali harapannya tak terwujud, ia akan tenggelam dalam perasaan gagal dan tak berharga.

Pikiran seorang obsesif selalu dipenuhi munculnya perasaan bahwa sang kekasih akan meninggalkannya. Di matanya sang pasangan adalah orang yang amat sempurna, sehingga harus "dijaga" dengan baik agar tidak pindah ke lain hati. Inilah cermin rasa tidak percaya diri dan menganggap dirinya tidak cukup baik untuk mendampinginya. Begitulah, saat "anugerah cinta" singgah di hatinya, ia rela melakukan apa saja demi mempertahankan hubungan itu.
Celakanya, pada banyak kasus orang obsesif yang kasmaran kerap dimanfaatkan pasangannya.

Candu kedua yaitu cinta yang mengarah ke posesif. Pada kondisi ini, seorang pasangan menginginkan pasangannya berlaku seperti yang dimauinya. Seperti si obsesif, si posesif juga tidak mau berpisah dengan pasangannya sehingga akhirnya ia menyiksa diri.

Mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi? "Ada kekosongan diri pada si pemuja cinta ini," tutur Ieda. Harapannya, kekosongan itu bisa ditutup oleh pasangannya. Terjadilah ketergantungan diri. Sayangnya, mereka tidak sadar memelihara kebodohan yang berkepanjangan. Ieda menyebut cinta seperti itu adalah cinta yang tidak sehat.

Tak sedikit orang yang masih berkubang dalam cinta seperti itu. Mereka berpikir cinta, padahal bukan. Ungkapan-ungkapan seperti "Saya melakukannya karena saya cinta kepada dia" atau "Dia memperlakukan saya seperti ini karena dia mencintai saya" hanyalah ilusi perasaan. "Saya menyebutnya terbelenggu karena sebetulnya dia mungkin mencintai, tapi yang dicintai ini belum tentu mencintai."

Rasa dan rasio

Cinta pada dasarnya memberi. "Karena saya mencintai seseorang, maka saya ingin memberikan yang terbaik buat dia, ingin membahagiakan dia, bisa membuat hidupnya menjadi indah. Artinya, saling mencintai bisa terjadi bila kedua belah pihak saling membahagiakan, saling memberi, memperhatikan, dan menyayangi. Tapi bila kenyataannya hanya salah satu pihak yang memberi dan berkorban, orang itu terbelenggu oleh cintanya sendiri. Karena yang terjadi sesungguhnya, cintanya tidak dibalas sebagaimana mestinya oleh pasangannya. Itulah yang saya maksud dengan dimanfaatkan. Tepatnya memanfaatkan rasa cinta pasangannya untuk kepentingannya sendiri. Ini juga berlaku untuk orang yang sudah menikah. Karena kadang pengorbanan istri tak pada tempatnya."

Ieda menyadari, penilaian tentang hal-hal di atas bisa bikin merah kuping yang mendengarkan. "Pasti enggak enak ya didengarnya, orang mencintai kok dibilang dimanfaatkan. Tapi itulah faktanya. Saya menggunakan istilah itu dengan maksud agar orang terjaga untuk melihat apakah saya ini dicintai atau dimanfaatkan. Kesadaran seperti ini harus dibangun. Karena atas nama sosial budaya dan segala macam opini, orang terperangkap pada pengertian yang salah tentang cinta, sehingga akhirnya mereka masuk pada penyiksaan yang ia ciptakan sendiri. Misalnya, dia tidak mengerti apa artinya pengorbanan. Justru dia berkorban untuk hal yang tidak perlu," tegas Wakil Ketua Umum Himpunan Psikolog Indonesia ini.

Dalam beberapa kasus, perempuan meyakini bahwa dengan berkorban, maka cintanya akan dibalas oleh orang yang saat ini belum mencintai dirinya. Analoginya, batu saja kalau ditetesi air terus-menerus bisa bolong. Opini macam ini kadang menjerumuskan. "Cinta bukan batu. Cinta enggak bisa dipaksa. Selama ini kita salah menempatkan analoginya."

Bagi yang sedang dilanda asmara, Ieda berharap untuk tidak terseret arus opini yang dibangun masyarakat. Seperti bagaimana cara mencintai laki-laki. Ieda mengingatkan bahwa orang per orang sangat individual. "Ukurlah sendiri dengan menggunakan ukuran khusus orang yang bersangkutan. Karena kalau tidak, perempuan menjadi korban terus."

Lalu bagaimana cara mengetahui apakah kita dimanfaatkan atau tidak? "Cinta itu menggunakan rasa dan rasio. Tanya jujur dalam hati, hubungan ini wajar atau tidak. Evaluasi juga, apa saja yang terjadi dalam hubungan selama ini. Apakah betul cinta? Kalau ternyata lebih banyak berkorban dan tidak menerima yang seharusnya, kita sampai pada kesimpulan bahwa kita telah dimanfaatkan pasangan. Ukuran mencintai 'kan timbal-balik. Saling memberi. Kalau seorang wanita atau istri berkorban terus- menerus, saya menilai ia dimanfaatkan," tegas psikolog yang berpraktik di kawasan Galur, Jakarta Pusat ini.

Buatlah neraca cinta

Hasil evaluasi tadi bisa kita lontarkan kepada pasangan. Cuma, lihat dulu tipe pasangan kita. Kalau modelnya orang yang terbuka, kita bisa langsung melontarkan masalah ini dengan santai. Misalnya, mulai dengan definisi cinta yang menyiratkan ada keinginan untuk membahagiakan, meringankan beban, menyenangkan, memberi. "Lo, kok, saya enggak pernah terima nih, malah ngasih terus. Enggak take and give dong hubungan ini."

Bisa jadi pasangan kita akan terhenyak sejenak. Biarkan ia mengecek ke dalam dirinya sendiri, atau bisa pula bertanya pada orang lain. Beri waktu pasangan untuk mengevaluasi. Nanti akan terjadi perubahan. "Mungkin pasangan atau suami tidak menyadari bahwa selama ini ia belum sepenuhnya memberi. Nah, sekarang ia menyadari bahwa ia lebih banyak disenengin daripada nyenengin pasangan. (Dengan kesadaran itu) maka hubungan bisa menjadi lebih baik."
Hasil evaluasi hubungan itu bisa juga menyadarkan pasangan lainnya, bisa jadi dirinyalah yang egois selama ini. Terlalu banyak menerima atau menuntut, tapi memberi sedikit pada pasangannya. Dengan membuat "neraca cinta" seperti itu, masing-masing pihak bisa saling melakukan introspeksi diri sehingga hubungan cinta menjadi lebih sehat.

Cinta memang bisa membuat seseorang menjadi kuat, memaafkan, dan tidak membenci. Tetapi ingat, rasio juga dipakai. Harus ada ukurannya, misalnya tepatkah memaafkan kesalahan. Kalau bolak-balik berbuat kesalahan yang sama, itu sih sama saja penyiksaan. Ada pula cara lain. Tanya pada diri sendiri, sebenarnya adakah rasa berat hati saat melakukan pengorbanan itu untuk pasangan. Idealnya, suatu hubungan asmara tidak boleh berat sebelah dan mendatangkan rasa nyaman pada kedua belah pihak. "Walaupun urusan cinta sangat melibatkan emosi, tetap kita tak boleh mengabaikan logika," tegas Ieda.

Karena itu, telusuri cinta Anda selama ini. Dicintai atau dimanfaatkan? Jangan sampai ada Putu, Fachrul, dan Ainul Yaqin lainnya.